DIGIMEDIA.ID – Rahmat W. Mangga, mahasiswa Program Studi Geografi angkatan 2021 Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGO), adalah salah satu dari peserta Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) Batch 7.
Melalui program ini, Rahmat menginjakkan kaki di Desa Todanara, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), wilayah yang dikenal sebagai daerah 3T (Tertinggal, Terluar, dan Terdepan).
Perjalanan ini bukan sekadar magang, kepada kami diceritakan Rahmat, adalah perjalanan hidup penuh makna.
Bermula dari MSIB…
Program MSIB, bagian dari Kampus Merdeka, memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar di luar kampus, mengembangkan kompetensi melalui pengalaman langsung di lapangan.
Rahmat mendapatkan kesempatan untuk bergabung di Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Tantangan yang dihadapinya dalam program ini membuatnya tumbuh sebagai pribadi yang lebih tangguh dan bersyukur.
Awal Oktober 2024 menjadi titik awal perjalanan Rahmat dari Gorontalo ke NTT.
Rute panjang melalui Makassar, Jakarta, dan Kupang membawanya ke Desa Todanara, sebuah desa terpencil di Kabupaten Lembata.
Desa ini menawarkan pemandangan indah sekaligus tantangan hidup yang nyata.
Suhu panas, minimnya akses air bersih, dan mayoritas penduduk non-Muslim memaksa Rahmat untuk beradaptasi dengan cepat.
“Saya mengalami culture shock, karena harus tinggal di tempat yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Tidak ada masjid di desa ini, sehingga saya harus pergi ke Lewoleba untuk sholat Jumat. Bahkan untuk sholat lima waktu, saya lebih sering melakukannya di rumah,” kenangnya.
Begitupn juga karena minimnya akses air bersih, Rahmat belajar menghargai setiap tetes air, sebuah pelajaran yang mengubah pandangannya tentang pentingnya sumber daya alam.
Selama di Desa Todanara, Rahmat bergabung dalam program “Mudah Berdaya untuk Kedaulatan Pangan” (MBKP) sebagai Enumerator.
Ia bertugas melakukan pendataan potensi pangan lokal, pemetaan lahan, dan analisis pola produksi, distribusi, serta konsumsi masyarakat.
Tinggal bersama keluarga sambung, pasangan Theresia Lema (Mama Lema) dan Bernabas Boli (Bapak Nabas), serta keempat anak mereka memberikan Rahmat rasa nyaman yang telah lama hilang sejak ia kehilangan kedua orang tuanya.
“Mereka memperlakukan saya seperti anak kandung. Kehidupan sederhana mereka sarat cinta dan pelajaran tentang arti keluarga sejati,” kata Rahmat dengan haru.
Mama Lema selalu menyiapkan sarapan bersama setiap pagi, sebuah tradisi keluarga yang membuat Rahmat merasa seperti bagian dari mereka.
Di akhir masa magangnya, Rahmat memberikan kenang-kenangan berupa baju seragam merah marun untuk keluarga sambungnya dan mengajak mereka berfoto di studio.
Foto itu menjadi simbol ikatan kuat yang terjalin selama tiga bulan penuh makna.
“Sebagai anak yatim-piatu, kesempatan berfoto bersama keluarga, meskipun bukan keluarga kandung, menjadi momen yang sangat spesial bagi saya,” ungkap Rahmat penuh haru.
Desa Todanara tidak hanya mengajarkan Rahmat tentang kehidupan sederhana dan keberagaman, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang cinta, keluarga, dan toleransi.
Program MSIB Batch 7 telah membuka matanya pada realitas yang berbeda, membantunya tumbuh sebagai pribadi yang lebih tangguh dan bersyukur.
Kisah Rahmat menjadi teladan bagi mahasiswa lain untuk tidak takut keluar dari zona nyaman.
Dengan semangat belajar dan keberanian menghadapi tantangan, Rahmat membuktikan bahwa pengalaman di luar kampus bisa menjadi bekal berharga untuk masa depan.
Desa Todanara, dengan segala keterbatasannya, telah menjadi tempat di mana ia menemukan keluarga, pelajaran hidup, dan cinta sejati.(*)