Scroll Untuk Tutup Iklan
adv
Iklan Gambar

Dana Hibah APBD Jabar 2025, Muhammadiyah Nol! Dedi Mulyadi Kaget

UMGO
10
Gubernur Jawa Barat (Jabar) Terpilih Dedi Mulyadi (kanan) saat Foto bersama Presiden Prabowo Subianto, beberapa waktu lalu.

Kunjungi Juga Channel Kami

Google Icon Google News

DIGIMEDIA.ID – Ketika banyak organisasi berlomba-lomba mendapatkan kucuran dana hibah dari pemerintah, Muhammadiyah justru tetap tegak berdiri tanpa sepeser pun bantuan dari APBD Jawa Barat 2025.

Hal ini mengemuka dalam rapat yang dipimpin oleh Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi, yang kaget saat mendapati ketimpangan distribusi dana hibah bagi organisasi kepemudaan dan keagamaan.

Dalam laporan yang diterimanya, dana hibah untuk KNPI mencapai Rp 5,5 miliar, Kwartir Pramuka Rp 4,8 miliar, dan BKPMI Rp 3,1 miliar.

Bahkan, Persatuan Islam (Persis) hanya menerima Rp 500 juta, Nahdlatul Ulama (NU) Rp 1,7 miliar, sementara Muhammadiyah nihil.

Dedi pun mengungkapkan kebingungannya atas keputusan yang dinilai tidak proporsional ini.

“Muhammadiyah gak dapat banget,” ujar Dedi sembari tertawa kecil, dikutip dari saluran media Republika.

Menurut dia, ada ketidakadilan dalam pembagian dana hibah organisasi kepemudaan dan organisasi masyarakat (ormas) Islam.

Dia heran, mengapa bantuan yang diberikan sangat tidak proporsional.

Muhammadiyah selama ini dikenal sebagai organisasi yang memiliki sistem keuangan yang kuat dan mandiri.

Muhammadiyah menggantungkan operasionalnya pada berbagai sumber pendanaan, termasuk tanah wakaf, lembaga pendidikan, rumah sakit, serta amal usaha lainnya.

Selain itu, Muhammadiyah juga memiliki sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan profesional dengan menginvestasikan dananya di bank-bank syariah, seperti Bank Syariah Bukopin, Bank Mega Syariah, dan Bank Muamalat.

Pendekatan ini menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang tidak sekadar menunggu bantuan pemerintah, melainkan mampu menghidupi dirinya sendiri.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah justru karena kemandirian ini Muhammadiyah tidak dianggap perlu mendapatkan hibah?

Tentu saja tidak, Dalam sistem demokrasi yang sehat, pembagian hibah seharusnya didasarkan pada proporsi yang adil, baik dari segi jumlah anggota, kontribusi sosial, maupun kebutuhan riil organisasi.

Jika berbicara soal jumlah pengikut dan dampak yang diberikan, Muhammadiyah sejatinya memiliki cakupan yang luas, mengelola ratusan sekolah, universitas, rumah sakit, serta kegiatan sosial keagamaan yang besar.

Namun, fakta bahwa Muhammadiyah justru tidak mendapatkan hibah sama sekali menunjukkan adanya standar ganda dalam alokasi dana publik.

Dedi Mulyadi sendiri menilai bahwa keputusan ini tidak masuk akal dan menyerukan perlunya revisi sistem hibah agar lebih proporsional.

Ini bukan sekadar masalah besar-kecilnya nominal, tetapi juga mencerminkan ketidakjelasan dalam mekanisme pemberian hibah.

Ketidakadilan dalam distribusi hibah ini bisa menjadi preseden buruk dalam tata kelola keuangan daerah.

Pemerintah harus memastikan bahwa anggaran publik dialokasikan dengan prinsip transparansi dan keadilan.

Jika Muhammadiyah tidak mendapatkan hibah karena dianggap sudah mandiri, maka semestinya ada standar serupa bagi organisasi lain yang masih bergantung pada dana pemerintah.

Di sisi lain, ketimpangan ini juga bisa menjadi sinyal bagi Muhammadiyah untuk semakin memperkuat posisinya sebagai organisasi yang benar-benar independen, tanpa intervensi negara.

Namun, bukan berarti pemerintah bisa lepas tangan. Keadilan harus tetap ditegakkan, bukan hanya bagi Muhammadiyah tetapi juga bagi organisasi lain yang membangun bangsa.(*)

UMGO